Panduan Islam dari Sebelum Hamil sampai Merawat Anak Setelah Melahirkan
Kelopak mata wanita muda itu tiba-tiba terlihat berkaca-kaca. Nampak sekali ia sedang berupaya untuk menahan tetes-tetes air matanya. Namun rasa duka yang memenuhi relung-relung jiwanya membuatnya tak bisa lebih lama lagi menahan air matanya. Tangis sedih wanita berkerudung itupun meledak. Air matanya mengalir deras membasahi kedua pipi merahnya. Hatinya seperti tertusuk sembilu. Dari dalam sukmanya membuncah rasa gundah. Rasa pedih yang datang mendera tak kunjung pergi menepi. Air mata wanita itu tak jua mereda.
Di tengah isak tangisnya, wanita itu berbisik lirih, “Ustadz Hamy, rasa sesal tiba-tiba memenuhi rongga jiwa saat ustadz menjelaskan bahwa tidak ada anak yang nakal, yang ada hanyalah orang tua yang semakin tidak sabar. Tidak ada anak yang bodoh, yang ada hanyalah anak yang menonjol di salah satu atau beberapa kecerdasan majemuk. Karena itu jadilah bidadari yang membahagiakan anak-anak Anda, jangan menjadi monster yang mengerikan mereka. Memang, boleh jadi Anda tidak akan pernah bisa menjadi orang tua yang sempurna, akan tetapi yakinlah bahwa insya Allah Anda bisa menjadi orang tua yang hebat bagi mereka.”
Isak tangis ibu muda berputra dua itu semakin menjadi-jadi saat menguraikan nestapa yang mendera jiwanya. Wajah cantiknya terlihat berduka ketika mengungkapkan lara yang menyelimuti hatinya. “Ustadz Hamy memang benar. Bekal saya untuk menjadi ibu yang hebat bagi buah hati saya masih sangat kurang. Sering saya mendidik ananda seperti dahulu ibu saya mendidik anak-anaknya,” kata wanita itu sambil terisak-isak. “ Sudah tak terhitung rasanya kata-kata bodoh, nakal, kurang ajar menerjang jiwa ananda. Sulit dihitung sudah berapa kali tubuh mungil itu teraniaya oleh ayah bundanya,” imbuhnya.
Ibu muda itu tak sendirian. Ibu-ibu lain yang mirip dengannya sangat banyak jumlahnya. Bekal mereka tentang buah cintanya sangat kurang. Paradigma mereka tentang buah hatinya banyak yang keliru. Mereka tidak mengerti tentang fase tumbuh kembang lambang cintanya. Karena itu tanpa mereka sadari, sikap mereka justru sering membunuh rasa ingin tahu anak-anak mereka. Bentakan mereka justru sering menghambat laju tumbuh kembang jiwa putra-putri mereka. Kekerasan mereka sering membuat potensi kecerdasan majemuk ananda tidak bisa tumbuh optimal justru di saat mereka berada dalam masa usia emas.
Namun ibu muda itu mempunyai bekal berharga untuk menjelma menjadi ibu yang hebat bagi kedua buah cintanya. Rasa sesal dalam hatinya dapat menjadi pemicu untuk mengisi detik-detik kehidupannya dengan terus meningkatkan pemahamannya tentang anak. Duka lara yang menyelimuti jiwanya dapat membuat dirinya terus berusaha memiliki ketrampilan untuk mendampingi buah hatinya dengan penuh cinta. Rasa pedih yang menghiasi hatinya dapat membuat setiap waktunya menjadi waktu-waktu yang hebat untuk putra-putrinya.
Ia akan mengerti bahwa tubuh-tubuh mungil itu membutuhkan asupan makanan yang bergizi, bukan racun nikotin. Wajah-wajah tanpa dosa itu memerlukan kecupan mesra, bukan tamparan. Jiwa-jiwa suci itu mendamba cinta kasih, bukan caci maki. Hati-hati bening itu mengharap pujian, bukan bentakan. Mereka memerlukan jemari tangan ibunya untuk membelai rambut mereka dengan penuh cinta. Mereka membutuhkan pundak ibunya untuk menggendongnya. Mereka menginginkan lengan kita untuk mendekap mesra tubuh mungilnya. Anak-anak kita itu selalu menanti bisik lirih kita, “ Anakku, Ibu mencintaimu. “
Di tengah isak tangisnya, wanita itu berbisik lirih, “Ustadz Hamy, rasa sesal tiba-tiba memenuhi rongga jiwa saat ustadz menjelaskan bahwa tidak ada anak yang nakal, yang ada hanyalah orang tua yang semakin tidak sabar. Tidak ada anak yang bodoh, yang ada hanyalah anak yang menonjol di salah satu atau beberapa kecerdasan majemuk. Karena itu jadilah bidadari yang membahagiakan anak-anak Anda, jangan menjadi monster yang mengerikan mereka. Memang, boleh jadi Anda tidak akan pernah bisa menjadi orang tua yang sempurna, akan tetapi yakinlah bahwa insya Allah Anda bisa menjadi orang tua yang hebat bagi mereka.”
Isak tangis ibu muda berputra dua itu semakin menjadi-jadi saat menguraikan nestapa yang mendera jiwanya. Wajah cantiknya terlihat berduka ketika mengungkapkan lara yang menyelimuti hatinya. “Ustadz Hamy memang benar. Bekal saya untuk menjadi ibu yang hebat bagi buah hati saya masih sangat kurang. Sering saya mendidik ananda seperti dahulu ibu saya mendidik anak-anaknya,” kata wanita itu sambil terisak-isak. “ Sudah tak terhitung rasanya kata-kata bodoh, nakal, kurang ajar menerjang jiwa ananda. Sulit dihitung sudah berapa kali tubuh mungil itu teraniaya oleh ayah bundanya,” imbuhnya.
Ibu muda itu tak sendirian. Ibu-ibu lain yang mirip dengannya sangat banyak jumlahnya. Bekal mereka tentang buah cintanya sangat kurang. Paradigma mereka tentang buah hatinya banyak yang keliru. Mereka tidak mengerti tentang fase tumbuh kembang lambang cintanya. Karena itu tanpa mereka sadari, sikap mereka justru sering membunuh rasa ingin tahu anak-anak mereka. Bentakan mereka justru sering menghambat laju tumbuh kembang jiwa putra-putri mereka. Kekerasan mereka sering membuat potensi kecerdasan majemuk ananda tidak bisa tumbuh optimal justru di saat mereka berada dalam masa usia emas.
Namun ibu muda itu mempunyai bekal berharga untuk menjelma menjadi ibu yang hebat bagi kedua buah cintanya. Rasa sesal dalam hatinya dapat menjadi pemicu untuk mengisi detik-detik kehidupannya dengan terus meningkatkan pemahamannya tentang anak. Duka lara yang menyelimuti jiwanya dapat membuat dirinya terus berusaha memiliki ketrampilan untuk mendampingi buah hatinya dengan penuh cinta. Rasa pedih yang menghiasi hatinya dapat membuat setiap waktunya menjadi waktu-waktu yang hebat untuk putra-putrinya.
Ia akan mengerti bahwa tubuh-tubuh mungil itu membutuhkan asupan makanan yang bergizi, bukan racun nikotin. Wajah-wajah tanpa dosa itu memerlukan kecupan mesra, bukan tamparan. Jiwa-jiwa suci itu mendamba cinta kasih, bukan caci maki. Hati-hati bening itu mengharap pujian, bukan bentakan. Mereka memerlukan jemari tangan ibunya untuk membelai rambut mereka dengan penuh cinta. Mereka membutuhkan pundak ibunya untuk menggendongnya. Mereka menginginkan lengan kita untuk mendekap mesra tubuh mungilnya. Anak-anak kita itu selalu menanti bisik lirih kita, “ Anakku, Ibu mencintaimu. “
Sumber: http://www.facebook.com/note.php?note_id=64725696242
No comments:
Post a Comment